Bagaimana jika tuhan
bosan? Rasanya seperti tercekik.
Kuberitahu sayang, kamu tak pernah berbuat salah. Kamu
mengulangnya.
Saya baru saja menghapus tagar inisial namamu di pos
instagram. Inisialmu terlalu mudah diketahui, sebab kamu memang selalu bangga
dengannya. Sebelumnya saya baru membenahi perihal teknis catatan daring ini, menghapus
fitur yang menurut saya terlalu rumit. Saya ingin semuanya sederhana.
Meski sebenarnya prosesnya lumayan melelahkan. sore tadi di
kantor misalnya. saya memulai membuat ilustrasi untuk catatan ini termasuk untuk
pos di instagram kelak. Saya buat sekaligus tiga, sore tadi. Cukup cepat
sebenarnya sebab saya telah miliki konsep.
Namun tetap melelahkan. Biarlah, saya menikmati seluruh aktivitas
ini. dan sepertinya saya akan rutin melakukannya untuk beberapa waktu ke depan:
sebelum pulang kantor buat ilustrasi, sampai rumah rumah menulis,
mengeposkannya, dan sesekali mebenarkan tampilan laman ini, esok hari buat pos
dengan ilustrasi yang telah selesai di instagram.
Kamu tentu mengerti saya soal ini.
Sesekali memang terbersit ekspektasi berlimpah soal catatan
ini. berharap instagram saya akan jadi terkenal dengan pos yang selalu viral,
menjadi selebgram, hingga bisa mengais uang dari instagram, bahkan catatan ini bisa
dibukukan, difilmkan. Sebuah mimpi generasi milenial.
Hanya saja saya mawas diri, saat ekpektasi tak pernah
mencumbu nyata yang tersisa hanya sebuah kutukan.
Sejujurnya saya berharap seluruh catatan ini untuk viral,
atau setidaknya kisah di catatan ini jadi perbincangan khalayak. Karena hanya
itu satu-satunya cara agar kamu menemui catatan ini. jika kamu mengetahui
catatan ini dari saya, maka tak akan ada lagi catatan ini. Sebab saya sudah
benar-benar memutuskan persinggungan hidup denganmu hanya bisa disebabkan oleh
campur tangan semesta. Bukan dari saya.
Pesanmu baru masuk, saya masih kuat tak membalasnya. Hari
ini pesanmu memang bertambah, tentu akibat dari pertemuan kita kemarin. Namun
semua masih tak berubah, kamu masih tak ingin tahu bagaimana perasaan saya?
kamu masih belum mengonfirmasi kita yang mengambang, kamu masih lupa telah
telah menyalakan bom waktu di hubungan ini, dan kamu masih tidak memperbaiki
apapun.
Sayang, sekali lagi saya katakan: kamu salah. Saat pertama
saya sebut, kamu jumawa bilang akan bekerja keras memperbaiki kita. Hingga saat
ini masih nihil. Tanpa kamu sebut seharusnya memang hubungan ini kamu perbaiki
sendiri-jika kamu masih ingin mempertahankannya.
Tiba-tiba muncul ingin untuk menanyakan itu semua kepadamu?
Baiklah akan saya coba.
“Halo,” akhirnya pertahanannya saya goyah.
Satu panggilan masuk darimu gagal.
“Hey, aku nelepon kamu kok nggak bisa ya?”
Kali ini panggilan berhasil. saya tolak.
Maaf, saya tak berkenan bicara verbal denganmu. Kelak,
seluruh pembicaraan hanya akan buat saya jengkel.
“Dimatiin ya? L”
Saya bingung saya harus bicara apa? Menanyakan konstelasi
hubungan kita tentu hanya akan dibalas omong kosong olehmu. Basa-basi sangat
memuaka.
Satu panggilan kembali masuk. Maaf, kembali saya tolak.
Di awal catatan ini memang saya jelas bilang bahwa hubungan
kita saya sebutkan kita memang selesai. walau sebenarnya saya masih menunggumu
melakukan sesuatu.
kamu luring.
Jika memang ada yang ingin disampaikan mengapa pergi? Sepertinya
ini pertanyaan yang tepat.
“Jika memang ada yang ingin disampaikan mengapa pergi?”
“Tidak pergi, barusan bapak minta tolong di miscalin
hapenya,”
Kamu memang selalu punya jawaban untuk hal seperti ini. saya
juga heran darimana kamu dapat asupannya?
“Aku sebenarnya emang kesulitan buat ngomong ke kamu
mengenai hal-hal yang terkait hubungan kita. Aku baru nyadar, kalo aku Cuma
dateng2 doang nyamperin kamu, jangan2 kamu malah kesel ya? L”
Tidak. Saya tidak kesal karena itu. Tapi mempertahankan
sikap seperti itu yang mungkin menyebalkan. Kamu salah. Kamu yang harus bekerja
keras memperbaiki kita, bukan saya.
Kamu kembali luring. Maaf saya sengaja menunggu balasanmu
yang lebih signifikan . Sebab bukan kesal karena sikapmu yang demikian yang
lebih penting, tapi perasaan saya.
Saya kembali bingung. Biasanya saya akan menyebut bahwa
semua yang saya katakan ternyata tak ada artinya, kamu membantah. Atau saya sok
asik ketawa-ketawan yang merepresi. Atau hal sok keren lainnya.
“Di saat kayak gini yang mau kuomongin pasti pernyataan bahwa
aku enggak bersedia berpisah sama kamu -----. Tapi sebagaimana kamu katakan, ya
rasa cinta dan sayang itu harusnya nggak peduli status.
“Oh iya, aku pengen ketemu kamu deh hari Rabu. Misalnya aku
bawa motor, kamu mau pulang bareng kah?”
“Mau apa?”
“Ya mau ketemu aja sebelum aku jalan outbond,”
“Ketemu untuk apa?”
“Untuk bicara mengenai kita dan hubungan kita,”
Wow.
Sepertinya saya sedang dipermainkan kembali.
“Kenapa tidak bicara sekarang? Atau bahkan setiap hari dalam
sebulan belakangan?”
Entah karena sinyal yang brengsek, atau kamu yang terlalu rumit
mempersiapkan mekanisme pertahanan diri. Pesanmu sampai sepuluh menit berikutnya.
“Gatau lebih nyaman kalo bisa sambil natap wajahmu, walaupun
kualitas bicaraku nggak lebih baik ketimbang lewat tulisan,”
“Sebenarnya, aku kesulitan ngajak ngomong, nyampein pendapat,
makanya aku selalu Cuma dateng2 aja nyamperin kamu, tapi nggak ada yang
diomongin,”
“Jadi sekarang pun sebenarnya kamu gatau apa yang kamu
disampaikan kelak kita bertemu?”
“Tau sih, -------“
“Ada satu hal yang baru aku sadar, konsistensi dalam
berhubungan itu salah satu cara menjaminnya ya memang dengan membuat kebijakan
tertulis,"
Kamu melantur, sayang. Kamu terdesak sehingga bicara apa
saja yng menurutmu bisa menyelamatkanmu. Atau setidaknya untuk tak makin terlihat
tak peduli dengan hubungan ini.
“Tapi kadang hal kayak gitu nggak diperluin sama pasangan2
yang menjalin hubungan asmara.
Ahhhh saya tahu ini bukan soal demikian, saya mengerti. Saya
ingin sekali menjelaskan banyak hal sepeerti biasanya. Ini sakit sekali,
sayang.
Saya harus mengakhiri catatan ini, saya mulai menangis
kesal.
Dan
sayang semoga kamu menemukan catatan ini.
0 komentar:
Posting Komentar