Sepandai-pandainya
bangkai melompat, rusak susu sebelangga.
Sayang, bolehkah saya menyerah?
Selepas bersalaman dengan mempelai, saya hanya mengambil
sebatang rokok, menyelakannya dan menjauhi kerumunan. Kembali saya ingin
mengulur waktu, meski kali ini berbeda alasannya. Ini akhir pekan, setelah menjalani
hari sibuk dan melupakan saya, kamu pasti serta merta datang ke rumah saya.
Saya tahu itu.
Seperti saya tahu bahwa ada yang tidak benar dengan hubungan
kita selama tiga tahun terakhir.
Seingat saya pengkuanmu datang karena desakan saya beberapa
hari sebelumnya, soal saya merasa ada yang kamu sembunyikan. Awalnya kamu masih
saja menganggap saya yang sangat posesif terhadapmu, saya yang memiliki
kerusakan mental.
Tapi kamu harus mengakui sayang, rusaknya mental saya memang
disebabkan olehmu.
Setelah pengakuan itu pun saya sadar tiga tahun belakangan
saya memang menjadi posesif, sejak tiga tahun belakangan secara tiba-tiba saya
sering menanyakan apa yang kamu sembunyikan dari saya? apa? Apa?
Saya selalu merasa asing saat kamu tidak bisa saya jangkau.
Parahnya akumulasinya pasti selalu buruk, saya menganggap kamu sedang asyik
masyuk dengan lelaki lain. padahal saya tak punya alasan apapun untuk
melontarkan pertanyaan itu, dan entah saya pun tidak tahu mengapa saya bertanya
demikian.
Hingga pada akhirnya kamu merasa jengah, selama tiga tahun selalu
saya curigai. Selama kamu pergi jauh berminggu-minggu, berkegiatan menginap di
hotel, dan berinteraksi dengan leaki lain, selalu saya ingin minta putus hanya
karena kekhawatiran saya.
Kamu jengah?
Hingga datang pengakuanmu bahwa ternyata kamu memang pernah
berasyik masyuk dengan lelaki lain di kamar hotel. Dan pengakuanmu itu baru
datang tiga tahun setelah kamu melakukannya. Selama tiga tahun itu pula kamu
kita menjalani hubungan seperti sedia kala. Tetap bertengkar karena berlebihnya
khekhawatiran saya. dan seterusnya. Dan yang paling parah selama tiga tahun itu
pula kamu selalu menyanggah bahwa kamu pernah selingkuh. Terus menerus.
Sampai sekarang juga saya masih belum paham apa motivasi
pengakuanmu lalu.
Dan saat ini sudah lebih dari sebulan pengakuanmu, kamu
kembali datang ke rumah saya. saya sengaja untuk mengulur waktu, karena
berikutnya saya paham apa yang akan terjadi. kamu hanya akan menunggu saya
bicara, menunggu saya marah, menjelaskan kembali semua yang sudah saya
jelaskan, agar kamu memiliki amunisi untuk membantahnya.
Tapi kini saya lebih pintar. lebih tenang mungkin lebih
tepat. Siasat saya hanya satu: biasa saja. makanya saya tak mencoba bicara
terlebih dahulu, marah atau hal-hal yang bisa memancing seranganmu. Hingga
akhirnya kamu berencana pulang setelah kita membeku lebih dari tiga jam.
Untung kini hujan memihak saya, ia menggalkan strategi
defensifmu.
Kamu saya tarik kembali ke dalam, dan saya persilakan
menginap di rumah saya. Sebab saya tak setega itu, membiarkanmu pulang
sendirian di tengah hujan. Lagipula saya memang tidak ingin membencimu.
Saya mempersilakanmu tidur, kamu bersikeras menolaknya.
“Saya tanya lagi, ada apa datang kemari?”
“Aku mau ketemu kamu?”
“Iya, sekarang sudah bertemu, lantas?”
Kamu kembali diam, meletekaan kepala di sofa.
Saya benci situasi seperti ini.
“Bagaimana pekerjaan barumu?”
Kamu lumer, bercerita hampir lebih dari setengah jam tanpa kata
apapun dari saya.
Saya sekadar bersikap ramah
Maaf, kesempatan, pilihan, dan waktu sudah saya berikan
semuanya kepadamu. Kamu tetap tak bisa memanfaatkannya.
Sekali lagi, kamu tidak sedang memperbaiki apapun.
Setelah cerita pekerjaanmu, kembali muncul bincang soal
hubungan kita, pembicaraan yang melulu seperti itu. Sebagaimana saya tak
berkenan melanjutkan hubungan ini, saya juga enggan membicarakannya.
Lampu saya ruang tamu saya matikan, saya tidur. Sedang kamu
bergegas ke kamar saya. Tidur.
Lucu ya?
Saat ini saya sedang menulis catatan patah hati yang
disebabkan oleh orang yang sedang tidur di kamar tidur saya.
Dan sayang semoga kamu menemukan catatan ini.
0 komentar:
Posting Komentar