Minggu, 07 Mei 2017

#4 Firasat


Sepandai-pandainya bangkai melompat, rusak susu sebelangga.
Sayang, bolehkah saya menyerah?
Selepas bersalaman dengan mempelai, saya hanya mengambil sebatang rokok, menyelakannya dan menjauhi kerumunan. Kembali saya ingin mengulur waktu, meski kali ini berbeda alasannya. Ini akhir pekan, setelah menjalani hari sibuk dan melupakan saya, kamu pasti serta merta datang ke rumah saya. Saya tahu itu.
Seperti saya tahu bahwa ada yang tidak benar dengan hubungan kita selama tiga tahun terakhir.
Seingat saya pengkuanmu datang karena desakan saya beberapa hari sebelumnya, soal saya merasa ada yang kamu sembunyikan. Awalnya kamu masih saja menganggap saya yang sangat posesif terhadapmu, saya yang memiliki kerusakan mental.
Tapi kamu harus mengakui sayang, rusaknya mental saya memang disebabkan olehmu.
Setelah pengakuan itu pun saya sadar tiga tahun belakangan saya memang menjadi posesif, sejak tiga tahun belakangan secara tiba-tiba saya sering menanyakan apa yang kamu sembunyikan dari saya? apa? Apa?
Saya selalu merasa asing saat kamu tidak bisa saya jangkau. Parahnya akumulasinya pasti selalu buruk, saya menganggap kamu sedang asyik masyuk dengan lelaki lain. padahal saya tak punya alasan apapun untuk melontarkan pertanyaan itu, dan entah saya pun tidak tahu mengapa saya bertanya demikian.
Hingga pada akhirnya kamu merasa jengah, selama tiga tahun selalu saya curigai. Selama kamu pergi jauh berminggu-minggu, berkegiatan menginap di hotel, dan berinteraksi dengan leaki lain, selalu saya ingin minta putus hanya karena kekhawatiran saya.
Kamu jengah?
Hingga datang pengakuanmu bahwa ternyata kamu memang pernah berasyik masyuk dengan lelaki lain di kamar hotel. Dan pengakuanmu itu baru datang tiga tahun setelah kamu melakukannya. Selama tiga tahun itu pula kamu kita menjalani hubungan seperti sedia kala. Tetap bertengkar karena berlebihnya khekhawatiran saya. dan seterusnya. Dan yang paling parah selama tiga tahun itu pula kamu selalu menyanggah bahwa kamu pernah selingkuh. Terus menerus.
Sampai sekarang juga saya masih belum paham apa motivasi pengakuanmu lalu.
Dan saat ini sudah lebih dari sebulan pengakuanmu, kamu kembali datang ke rumah saya. saya sengaja untuk mengulur waktu, karena berikutnya saya paham apa yang akan terjadi. kamu hanya akan menunggu saya bicara, menunggu saya marah, menjelaskan kembali semua yang sudah saya jelaskan, agar kamu memiliki amunisi untuk membantahnya.
Tapi kini saya lebih pintar. lebih tenang mungkin lebih tepat. Siasat saya hanya satu: biasa saja. makanya saya tak mencoba bicara terlebih dahulu, marah atau hal-hal yang bisa memancing seranganmu. Hingga akhirnya kamu berencana pulang setelah kita membeku lebih dari tiga jam.
Untung kini hujan memihak saya, ia menggalkan strategi defensifmu.
Kamu saya tarik kembali ke dalam, dan saya persilakan menginap di rumah saya. Sebab saya tak setega itu, membiarkanmu pulang sendirian di tengah hujan. Lagipula saya memang tidak ingin membencimu.
Saya mempersilakanmu tidur, kamu bersikeras menolaknya.
“Saya tanya lagi, ada apa datang kemari?”
“Aku mau ketemu kamu?”
“Iya, sekarang sudah bertemu, lantas?”
Kamu kembali diam, meletekaan kepala di sofa.
Saya benci situasi seperti ini.
“Bagaimana pekerjaan barumu?”
Kamu lumer, bercerita hampir lebih dari setengah jam tanpa kata apapun dari saya.
Saya sekadar bersikap ramah
Maaf, kesempatan, pilihan, dan waktu sudah saya berikan semuanya kepadamu. Kamu tetap tak bisa memanfaatkannya.
Sekali lagi, kamu tidak sedang memperbaiki apapun.
Setelah cerita pekerjaanmu, kembali muncul bincang soal hubungan kita, pembicaraan yang melulu seperti itu. Sebagaimana saya tak berkenan melanjutkan hubungan ini, saya juga enggan membicarakannya.
Lampu saya ruang tamu saya matikan, saya tidur. Sedang kamu bergegas ke kamar saya. Tidur.
Lucu ya?
Saat ini saya sedang menulis catatan patah hati yang disebabkan oleh orang yang sedang tidur di kamar tidur saya.

Dan sayang semoga kamu menemukan catatan ini.

0 komentar:

Posting Komentar